NGAJI TEMATIK ATAU NGAJI KITAB?


Apa para sahabat dahulu ketika berdakwah ngaji kitab?

Kira-kira dulu ketika sahabat Mus'ab bin Umair diutus mendakwahi kaum Anshar,
demikian pula dengan sahabat Mu'adz dan Abu Musa Al Asy'ari yang diutus ke
Yaman untuk berdakwah kepada Ahlul Kitab, dan juga sahabat lainnya, apakah
setibanya mereka di tujuan, segera buat kajian kitab, atau kajian tematik ya?


Saya ndak habis pikir ada saja yang masih gagal paham, kalau dakwah harus ngaji
kitab, kalau majlis ta'lim harus ngaji kitab. Kalau kajian tematik maka itu memalukan
alias ndak kokoh.


Sobat, susahkah menghargai orang lain?

Haruskah semua orang duduk jadi guru di masjid, atau di lembaga pendidikan?

Dan haruskah semua orang jadi penuntut ilmu, dan calon ulama' ?

Alangkah indahnya bila semua saling menghargai, yang mau jadi calon ulama' maka
ndak ngejar kajian tematik, tapi masuk pesantren, mulazamah, atau kuliah.

Tapi bagi yang sekedar mau nyetrum imannya yang dikhawatirkan padam, walau
dirinya sadar sedang dalam kondisi tertatih-tatih di atas jalan kebenaran, dan belum
tergoda untuk mengikuti jejak ulama', maka mencukupkan diri dengan kajian tematik
yang biasanya bombastis dan judulnya menyedot perhatian.


Percaya deh, dari sekian banyak yang semula merasa puas dengan sekedar
nyetrum iman, ada saja orang-orang yang akhirnya terpilih untuk melangkah lebih
maju, dan ketagihan untuk semakin jauh menimba ilmu, hingga akhirnya
meninggalkan kajian tematik, dan masuk pondok, mulazamah, atau kuliah.

Sobat! coba camkan, apalah artinya berilmu bila ujung-ujungnya anda bertambah
sombong dan pongah, kehilangan rasa iba kepada saudara anda yang sedang
tertatih-tatih melawan nafsu dunianya dan bisikan setan?


Dan betapa besar pahala orang yang tau diri, sehingga walau tertatih-tatih tiada
lelah untuk selalu nyetrum imannya, dan menyadari bahwa dirinya jauh tertinggal
oleh para calon ulama' yang tiada lelah menekuni kajian kitab di hadapan ulama' -
ulama' besar.

Orang yang berilmu semakin bertambah ilmunya maka semakin sayang dan rasa
ibanya kepada orang yang masih terus tertatih-tatih di jalan kebenaran, semakin
besar.

Bertambah ilmunya bertambah iba kepada saudaranya yang belum tergoda untuk
meniti anak tangga ilmu.


Semakin tinggi kakinya meniti tangga ilmu, semakin sadar bahwa orang yang kuasa
mengayuhkan kakinya hingga ke anak tangga yang sedang ia pijak adalah makhluk-

makhluk langka. Karenanya ia semakin bersyukur, karena telah Allah Ta'ala pilih
hingga ke tingkatan yang begitu tinggi dari derajat ilmu, tanpa ada daya dan upaya
dari dirinya, bukan malah merasa semakin hebat dan membusungkan dadanya
kepada saudaranya yang jauh tertinggal olehnya.

Wallahu a'lam bisshowab.

Oleh: Ustadz DR. Muhammad Arifin Badri -hafizhahullah
Ahad 6 Rabi'ul Akhir 1439 H / 24 Desember 2017
Sumber : Salam Dakwah
#HunterUnpad #HunterPost
________________
© HUNTER UNPAD
OA Line: @hunterunpad
Instagram: hunter.unpad
YouTube: HunterTV-Channel
Website: bit.ly/hunterunpad
https://line.me/R/ti/p/%40hunterunpad

Komentar

Postingan Populer